Di rumah papan kecil yang rewot di Karang Putih, Solok Selatan, rintik hujan sore itu jatuh di atap yang hanya dilapisi kain-kain lusuh.
Panas ditahan seadanya, dapur tanpa kompor gas hanya berasap kayu bakar, kamar mandi tanpa pintu. Di dalamnya, seorang gadis remaja bernama Moza terbaring tak berdaya.

Moza baru 17 tahun. Dulu ia penuh semangat, bahkan ikut seleksi paskibra di sekolahnya. Hidupnya masih dipenuhi mimpi. Namun sebuah kecelakaan motor merenggut segalanya. Sejak itu, tubuhnya lumpuh, tak bisa bergerak, sering kejang-kejang hingga membuat kulitnya menghitam dan tubuhnya kedinginan.

Kini penderitaan itu bertambah: sebulan terakhir, matanya mulai kabur, pandangan Moza semakin buram. Dunia yang dulu penuh warna kini terasa semakin suram baginya.

Moza sempat berobat ke rumah sakit. Tapi jaraknya 6 jam perjalanan dengan biaya besar, hingga tak sanggup lagi mereka melanjutkan. Ia juga pernah ikut terapi, namun salah satu terapi justru membakar betisnya karena terlalu berbahaya. Kini, Moza hanya menunggu tubuhnya lebih kuat untuk mencoba terapi lain.

Di sisi lain, sang ibu, Bu Murni, tak pernah lepas dari sisinya. Sejak suaminya meninggal pada 2020, Bu Murni menjadi tulang punggung bagi empat anaknya. Dulu ia bekerja sebagai buruh, membajak sawah, membersihkan rumah, apapun yang bisa dilakukan. Sehari penuh ia hanya digaji Rp50.000, kadang ditambah Rp10.000 jika lembur. Namun sejak Moza sakit, ia berhenti bekerja. Pendapatan keluarga hilang, seringkali sehari itu benar-benar tanpa penghasilan.

Sekarang, hidup mereka hanya bergantung pada belas kasih tetangga. Anak laki-laki satu-satunya pun sering masuk hutan, mencari apa saja yang bisa dijual demi menolong ibunya.
Mereka butuh bantuan untuk biaya obat dan terapi, kasur layak untuk Moza, makanan bergizi, serta kebutuhan harian keluarga.